Pages

Selasa, 30 September 2014

HIPOTERMIA

Oleh: Rika Januarita Haryati

Aku mengenal dengan jelas kata diatas ketika masih di awal-awal semester kuliah. Saat aku mengikuti kegiatan Perkemahan Sandhiyudha (PERSANDHA) di Danau Pandu yang diadakan oleh dewan racana Pramuka UNSRI. Ketika itu hujan turun dengan sangat derasnya. Menerjang tenda-tenda kami. Sampai banjir dimana-mana. Basah semua. Termasuk baju-baju ganti. Ternyata bukan hanya hujan tapi juga angin. Sudah basah kuyup ditimpa angin pula. Aku menggigil.

Waktu diperkuliahan tentang keadaan mekanisme suhu tubuh ini sudah dibahas. Tubuh kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin. Ini berbahaya. Otot tubuh akan berkontraksi sebagai usaha menghasilkan panas. Detak jantung melemah. Bicara melantur. Bahkan mungkin berhalusinasi. Bagaimana cara mengatasinya? Aku harus segera menghindari sumber suhu dingin atau berselimut. Saat itu sedang hujan deras dan ‘badai’. Jangankan selimut, baju gantipun tak dapat dipakai. Bagaimanalah coba?

Kakak kami menawarkan baju ganti. Baju kaos laki-laki. Bagaimanalah bisa memakainya. Aku berjilbab, sedang lengan baju itu cuma sebatas siku. Akhirnya kutolak dengan halus. Mudah-mudahan aku bisa mengatasi rasa dingin yang semakin menusuk.
Kami berkumpul di tenda panggung tempat pertunjukkan. Tempat teraman dari banjir. Sudah banyak yang tidur-tiduran disana. Di sebelah ujung tenda berkumpul para pramuka putra. Tidur. Aduh, bagaimanalah bisa tidur disini, pikirku. Akhirnya aku hanya duduk sambil berusaha memejamkan mata. Menyugesti diri bahwa udara hangat. Tak berapa lama aku segera tersadar. Karena rasa kram dikakiku. Oh iya ternyata aku menopang kepala seseorang di pangkuanku. Tentu saja kepala seorang putri. Kalau yang putra berani seperti itu juga, berarti cari mati.

Aku pasrah saja. Dingin dan kram menyatu. Aku mulai berhalusinasi. Aku berpikir tentang mati. Dingin semakin menusuk ditambah udara malam hari. Dingin yang berlipat-lipat. Apakah aku akan mati disini, duhai Tuhanku? Aku berusaha untuk tetap tersadar. Jangan sampai pingsan. Ayo, bertahanlah ya. Kamu kuat. Suara seseorang seolah berkali-kali memberi semangat. Aku tahu, aku pasti berhalusinasi.

Saat subuh aku terbangun. Kami sholat berjamaah di tenda tersebut. Entah kapan aku baru sadar jika aku sudah tidak merasa dingin lagi. Baru sekarang terasa betapa nikmatnya diguyur hangat mentari pagi. Aku benar-benar tersenyum sambil menatap arah Timur. Dari semalam kau sudah kunanti, bisikku. Pagi kali ini seolah aku baru terlahir kembali. Jadwal hari ini adalah lomba halang rintang. Pasti mengasyikkan.

Aku tidak jadi mati. Hipotermia. Tapi pada akhirnya aku pasti mati. Bahkan meski tanpa hipotermia. Lalu mengapa aku takut mati? Pastilah karena banyak dosa. Tapi mati itu bisa datang kapan saja kan? Berarti aku masih diberi kesempatan.

Selesai halang rintang, aku segera pulang ke kost. Bukan, bukan karena kapok ikut camping ini. Banyak tugas yang harus segera kuselesaikan. Menggambar hasil praktikum pengamatan sel-sel tumbuhan dan hewan. Setelah selesai, kembali aku terpikir tentang mati. Mau mati dimana? Bagaimana cara matinya? Baru kali itu akhirnya aku berdoa. Ya Allah matikanlah aku sebagai husnul khotimah. Dimanapun tempatnya dan bagaimana akhirnya, izinkanlah aku memiliki kesudahan atau akhir yang baik. Amiin.

Hari ini adalah HUT Pramuka. Aku tetap kagum dengan organisasi ini. Banyak kenangan ketika menjadi anggotanya. Masih ingat rasanya kita kami harus melewati malam dengan ‘perjalanan suci’. Perjalanan yang menguji mental. Di jalan tiba-tiba terasa sangat menyeramkan. Horror. Sudah biasa jika ada yang kesurupan. Dan jika tidak sanggup, kami harus segera memberi kode. Syukurlah, tak ada yang menyerah. Cuma terdengar ada yang menjerit karena terkejut. Ketika telah sampai tujuan, rasanya lega.

Selamat HUT PRAMUKA. Terus tumbuhkan semangat patriotik.

Tugumulyo OKI, 14 Agustus 2013

Senin, 22 September 2014

ORANG BIOLOGI ITU KEREN

ORANG BIOLOGI ITU KEREN

Oleh: Rika Januarita Haryati

Judul itu bukan narsis sih. Tapi kenyataan (nyata narsisnya J). Bagaimana tidak, orang-orang menyangka bahwa kami itu dokter. Sewaktu mengajar anak-anak SMA kelas 3 –sekarang disebut kelas XII- anak-anak suka bertanya tentang penyakit, penyebabnya dan obatnya. Obat yang natural tanpa efek samping. Bagaimana meningkatkan imunitas tubuh? Makanan apa saja yang harus dihindari ketika sakit? Boleh nggak kalau makan nggak pake sayur atau ikan? Biji jambu itu bisa menyebabkan usus buntu nggak? Kira-kira itu sebagian pertanyaan mereka. See, mereka pikir aku dulu kuliah di kedokteran kali ya? Hehe.

Lain lagi dengan adik-adik pengajian. Mereka juga berpikir aku dokter. Mereka anak-anak teknik, dari arsitektur, kimia sampai tambang. Memang sih, acara pengajian kami memang di daerah dekat fakultas kedokteran. Sehingga dengan PD tingkat tinggi, mereka suka mendiskusikan masalah yang berkaitan dan nyerempet dunia kedokteran. Well, ketika mereka tahu aku adalah guru, mereka serasa tak percaya. Mbak cocok banget loh jadi dokter, kata mereka. Haha. Kami memang pernah menyuntik tapi isinya formalin. Pernah juga membedah organ-organ dalam mamalia. Tapi tentu saja bukan manusia melainkan katak/bufo, ikan, mencit dan sejenisnya. Hehe

Tapi memang harus kuakui, waktu kuliah dulu, kerepotannya memang tidak kalah keren dari anak-anak kedokteran. Gayanya kemana-mana pakai jas putih laboratorium. Diktat tebal yang setia menemani. Serta jam kuliah yang padat luar biasa. Belum tugas-tugas yang aduhai. Sometimes like a doctor but on other place like a farmer or natural lovers. Kami meneliti serangga dan tanaman di kampus, di kaki Gunung Dempo Pagaralam, di perkebunan teh, kebun kopi, bahkan di dekat air terjun. Kayak jingle Ninja Hattori: Mendaki gunung, lewati lembah. Sungai mengalir indah ke samudera. Bersama teman berpetualang. hehe. Seru sih memang.

Saat menjadi Researcher, kami membuat Herbarium atau Awetan Basah. Tentu saja ini praktikum yang seru. Karena kami mencari tanaman sendiri serta hewan sendiri. Artinya, kami jalan-jalan lagi. Pergi ke Pantai Pasir Putih Lampung ‘cuma’ untuk mengambil bintang laut, bulu babi (ini nama hewan air loh, bukan pig’s hair), bermacam-macam kerang, dan lain-lain. Untuk tanaman, Gunung Dempo Pagar Alam selalu menjadi andalan, soalnya sekalian hiking. Untuk pedalaman materi tentang tumbuhan dan kehewanan, biasanya kami mengunjungi LIPI, Kebun Raya Bogor, Museum Bogoriense, Sea World Ancol, Taman Bunga Nusantara, Taman Safari bahkan ke Bali. Ini peneliti merangkap petualang ala koper.

Dosen-dosen kami sebenarnya termasuk moderat. Mana ada ceritanya mahasiswa yang ikut demonstrasi menolak kenaikan SPP, misalnya, yang dilarang mengikuti kuliah atau nilainya dibuat miris, dapat D atau E. Aku bersyukur, dosen kami termasuk jajaran yang mendahulukan profesionalitas kerja. Kalau cerita dosen killer, tentu saja ada. Aku bahkan sering berurusan dengan beliau. Mulai yang dari lupa materi, tidak siap ketika di kelas dan bahkan tidak ikut ujian ketika semesteran. Wow, panjang ceramahnya. Aku yakin, beliau pasti sangat jengkel, mangkel, kesel kalau harus berurusan denganku. Di saat yang lain menciut, tak berani mengemukakan sepotong kata meskipun memiliki alasan yang krusial, aku dengan tenang menjawab segala yang menjadi kerisauan beliau. Tapi luar biasanya, aku selalu mempunyai alasan efektif. Mau tidak mau, ketika ia bilang, tidak ada ujian susulan, maka ia memperbolehkan ujian susulan. Aku tahu, sebenarnya dosen killer ini aslinya baik sekali, dia killer untuk membuat kami belajar lebih serius. Tapi ya hanya segelintir orang yang tahu sisi lainnya ini. Di dalam kelas, bisa jadi beliau cerewet sekali. Tapi di luar kelas, beliau ramah sekali. Asal berani menegur beliau duluan. Yang kata teman sih, cari mati loe. Haha.

Yah, orang Biologi itu keren. Soal alam, mereka idealis. Kalau ada perlombaan taman jurusan atau himpunan, maka yang biasanya menang ya Biologi sama mapala. Biologi ini saingan berat mapala yang dalam sekejap menjadi partner beratnya. Buktinya ‘tausiyah’ tentang kelestarian alam yang ditempel dipohon-pohon kampus itu hasil karya duet mereka. Begitu juga dengan penamaan ilmiah untuk tanaman dalam area kampus. Entah kalau sekarang.

Orang Biologi itu didoktrin untuk menanam minimal satu pohon/tanaman. Kalau tidak mempunyai pohon, berarti oksigen yang kau hirup itu hasil dari tanaman orang lain. Kamu benalu. Siapa coba yang mau jadi benalu. Bahkan untuk kertas ujian, draf bimbingan skripsi, kami diperbolehkan memakai kertas bekas (yang sisi sebelahnya masih bisa digunakan). Wah itu kabar bagus. Bisa buat penghematan sekaligus penerapan don’t be useless.

Ketika silaturahim ke rumah dosen-dosen, mereka benar-benar pencinta alam sejati. Rumah mereka asri, rindang dan sejuk. Banyak bebungaan dan pepohonan. Rumahku nanti juga begitu, insya Allah.

Dalam hal mata kuliah, aku pikir Biologi yang paling seimbang. Tidak melulu menghitung dan logis. Tidak juga cuma cuap-cuap teoritis. Mata kuliahnya banyak yang menyenangkan. Saat belajar tentang anatomi buah, dosen kami membawa bermacam-macam buah, setelah dipelajari, kami pesta buah alias fruits party.hehe. Saat belajar tentang anatomi daun, dosen kami membawa bermacam-macam daun bahkan juga membawa contoh bibit tanaman. Setelah selesai bibit itu dibagikan gratis untuk kami. Lumayan, harga bibit itu lumayan mahal bisa 30-ribuan/bibit. Saat mempelajari ikan, anak-anak kost boleh membawa pulang ikannya. Pokoknya praktikum itu bisa berarti penghematan buat anak kost. Tapi herannya setelah diadakan praktikum cacing, gak ada satupun mahasiswa yang mau membawa pulang cacing tersebut. Haha.

Yang paling berat itu saat menjadi guru. Menjadi guru berarti menjadi contoh yang akan diikuti. Teladan. Mau cantik/tampan atau biasa, mau kaya/miskin, mau pemalu/supel, mau cuek/ramah, ketika menjadi guru kamu harus terdepan dalam mencontohkan yang baik. Meski merasa tidak pandai berkata-kata, kamu harus bisa menjelaskan, merangkai kata. Kamu harus bersemangat agar suaramu sampai hingga pojok belakang. Kamu harus menguasai materi. Harus berangkat pagi-pagi. Harus bersabar meski rasanya kepala sudah berasap. Apalagi menanggapi pertanyaan murid-muridmu yang terkadang aneh. Dikelas XII, Biologi itu mempelajari pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, pembelahan sel, genetika, mutasi, evolusi dan bioteknologi. Belum jika harus mengulang pelajaran Biologi kelas X dan XI. Materi reproduksi saja, pertanyaan dan rasa penasaran anak-anak kadang tidak terbendung. Apalagi ketika tahu gurunya amat sangat moderat dan demokrat. Boleh bertanya apa saja.

Nah ini yang spesial untuk para guru. Bahwa apa yang diajarkannya akan menjadi amal jariyah. Saat ia membawa pencerahan, mendidik, membina, menguatkan hati yang retak, membuatnya merasa sangat berguna. Kebahagiaan tak terperi. Kadang gurupun bias meredam ketakutan, memberi semangat, menceriakan hari, menerbitkan senyum. Guru itu bisa menyentuh jiwa dan mengasah pemikiran. Baiknya akhlak guru akan berimbas ke sebagian siswanya. Mereka inilah yang secara sederhana dan diam-diam menghantarkan siswanya menuju kesuksesan. Tentu saja, bagi yang mengerti arti guru yang sebenarnya.

Orang Biologi itu keren. Rasanya cuma di pelajaran Biologi siswaku yang nyantai, asoy geboy-geboy di kelas. Rasanya juga cuma dipelajari ini, mereka boleh nyanyi dan tertawa-tawa sepuasnya. Rasanya juga cuma dengan orang pas pelajaran ini, mereka bisa mengkritik dan memberi kripik. Haha. Bahkan ada yang langganan ke kamar kecil. Bahkan ada yang menumpahkan tangisnya saat pelajaran ini. Yah, apalah daya, mungkin mereka pikir inilah saatnya bebas berekspresi.

Well, note ini tentu saja tidak bermaksud mengecilkan peran ilmu-ilmu lainnya. Ini benar-benar pure, karena penulisnya adalah orang yang bisa langsung teler kalau menghadapi integral, kalkulus, reaksi redoks, rumus Einstein, dan kawan-kawannya. Menurutku orang-orang yang istiqomah bergelut di dunia tadi itu bukan orang-orang keren tapi orang-orang keren sekali. Begitu juga dengan ilmu sosial, secara penulisnya kagok kalau diajak debat atau diskusi. Apalagi kalau harus orasi panjang kali lebar mengenai perikehidupan sosial yang terus berkembang. Apalagi jikalau harus menganalis kemajuan hari ini apakah menuju progresifitas yang didambakan atau malah regresifitas yang tidak diinginkan.

Kita adalah keren, pada bidangnya masing-masing. Keren yang hakiki tentu itu yang kita inginkan. Dan orang yang terkeren adalah orang yang paling banyak manfaatnya dan paling baik akhlaqnya.

I am going to go back to Palembang, goodbye Tugumulyo City. I’ll always miss u.

Tugumulyo OKI, 17 Juli 2013 pk.09.42

Minggu, 21 September 2014

HUJAN, HUNAIN, HUJAN!

Oleh: Rika Januarita Haryati

Kau pandangi hujan, Hunain. Hampir saja ia tak jadi turun. Menitik lembut. Kaupun cepat menganalisis dan berspekulasi. Tak mungkin kau terobos hujan. Langit telah menghitam. Sebentar lagi hujan menderas, Hunain. Dan benar saja, sepersekian detik berikutnya, titik-titik lembut pecah berdebam. Inilah hujan, Hunain.

Apakah kau masih ingat cerita hujan, Hunain? Saat Ia ingin memelukmu. Saat ia mengejarmu berkilo meter dengan sejuta peluh. Kau lari ketakutan. Ia terus mengejar. Sampai kau menyerah, lalu kuyup sekujur tubuhmu. Kau menggigil. Lalu kau menangis. Cinta macam apa ini? Aku tidak butuh, teriakmu lantang. Lalu hujanpun surut. Menghilang dari kehidupanmu.

Oh Hunain, di seberang negeri ini orang-orang mencari hujan. Mereka berdoa agar diceriakan hidupnya dengan hujan. Tangan mereka telah tengadah tinggi-tinggi ketika baru saja tercium aroma hujan. Mereka menyambut dengan segala rupa kesibukan. Menyiapkan ember-ember besar, bahkan kaleng-kaleng kerupuk karatan untuk menampung hujan yang masuk melalui celah atap yang telah usang. Lihatlah, saat hujan mereka berpesta di tengah halaman rumah. Saling memercikan hujan kepada yang lain. Pura-pura menghindar. Padahal kuyup sudah sekujur badan. Betapa romantisnya mereka terhadap hujan, Hunain.

“As samaa-u tumthirul aan*”, katamu kemudian. Lalu, apakah kau akan kembali menghindar, Hunain? Kau menggeleng perlahan, ragu. Kau membayangkan betapa menggigilnya saat hujan menusuk kulitmu. Namun kau berpikir bahwa sudah saatnya kau menerima hujan. Bunga yang kau tanam telah banyak yang layu dan mati, bukan? Tamanmupun kerontang.

Hei, hujan, Hunain, hujan. Kau pun sumringah. Memejamkan mata. Membayangkan kehangatan yang datang bersama guyuran hujan. Membentangkan harapan agar bunga-bunga kembali harum memekar. Berjanji ditengah percik berderai akan mencintai hujan dengan setulusnya. Menerbangkan doa-doa dan harapan yang mulai kau rajut dengan sabar.

Hujan, Hunain, Hujan! Ibarat emas yang tiba-tiba turun. Jika kau mengerti nilai emas, kau akan berlari memutirinya percik demi percik. Tak rela jika ada yang jatuh terhisap oleh yang lain. Tak suka, jika ia lama tak datang.

Hujan, Hunain, ia membawa kebaikan. Kebaikan bagi orang-orang baik. Ia itu tentara Allah, mana mungkin ia menyakitimu, bukankah begitu? Maka sudah selayaknya kita merayakan setiap pertemuan antara tentara Allah.

Hujan, Hunain, hujan! Ayo rentangkanlah tanganmu.

Note:

*langit hujan sekarang

Tugumulyo penuh butiran hujan, 17 Juli 2013 pk.15.00

Sabtu, 20 September 2014

YANG BAIK TAKKAN TERBUANG

Oleh: Rika Januarita Haryati

Syukurlah, hari ini cerah seperti yang kuharapkan. Di luar telah terdengar cicit burung-burung saling bersapa. Mereka bercakap-cakap.Bercerita telah mengitari apa saja. Membanggakan anaknya yang telah mulai berani terbang jauh. Membawa kabar yang diwartakan angin dalam damai. Mencari makanan lezat. Mereka saling berkeciap selang seling di atas dahan pohon yang mulai meninggi bersama pelukan hangat mentari.

Aku suka berlama-lama menikmati prosesi pagi seperti ini.Ini pagi seperti de javu. Seperti telah kualami sebelumnya namun sungguh aku yakin ini adalah pagi yang lain. Pagi yang baru. Ini pagi yang aroma basahnya kuhirup dalam-dalam. Meskipun flu karena terguyur hujan kemarin, bersin bertubi-tubi karena dingin yang melekat, tak mampu melenyapkan betapa istimewanya pagi ini.

Aku ingin menjadi sosok yang baru, kata hatiku mematri. Aku yang dulu telah mati. Terimalah aku yang baru wahai jiwa ragaku. Jangan takut,takkan sepenuhnya aku yang dulu hilang. Hanya hatiku saja yang baru. Dalam hati yang baru ini, bisa jadi banyak kenangan yang ter-install. Aku butuh mencari kembali back up dari file yang lama. Tapi tenanglah, kenangan terbaik takkan hilang. Yang baik takkan terbuang.

Kenangan dengan keluarga sederhanaku, meski sebagian nama tak lagi tercantum dalam kartu keluarga. Meski tubuh mereka telah ditanam bertahun-tahun lalu. Oh masih tergambar jelas gurat wajah mereka. Masih setia derai-derai airmata setiap kusebut nama mereka, setiap ingat pada mereka.

Entahlah, dalam sekejap hati seolah hancur dan remuk. Dada ini terasa sesak menahan gelombang perasaan. Ingin rasanya menangis sejadi-jadinya, agar lega. Apalah daya, hanya isakan tertahan yang terdengar. Bukan, bukan aku tak ikhlas. Tapi pengajaran ini kurasakan berat adanya. Tuhanku, jika Kau ambil mereka karna kerinduan-Mu kepada mereka, tentu aku ikhlas. Namun jika Kau ambil mereka hanya untuk kau abaikan,sungguh aku tak rela. Aku tahu, Kau Maha Adil, takkan Kau sia-siakan kebaikan meski hanya sebesar dzarrah. Berilah mereka rezeki yang layak di sisi-Mu.Terangilah peristirahatan mereka dengan sinar hangat namun tidak menyilaukan.Serta kumohon ampunilah dosa-dosa mereka. Indahkanlah rumah mereka saat ini. Kediaman mereka yang tenang dan nyaman.

Kenangan dengan teman-teman terbaik. Mereka yang selalu setia membersamai. Bisa jadi, jarak kami saling berjauhan. Jauh di mata tapi dekat di hati. Jika dekat di mata, tambah dekat di hati. Mereka yang membuat beban di pundakku terasa lebih ringan. Mereka yang mudah berbagi semangat.Mereka yang tak pelit memberi masukan, senyuman tulus, serta kebahagiaan. Mereka yang takkan tega membohongiku hanya agar aku percaya padanya. Siapapun mereka, seolah Kau mengirimnya agar aku belajar banyak hal dari mereka.Sungguh, mana mungkin mereka hilang. Oh Tuhanku, jagalah nama-nama mereka.Sungguh, Aku ingin mendaki bukit terjal kehidupan ini bersama mereka. Aku tahu,dengan tali ikatan yang telah Kau jalin diantara kami, kami akan saling menjaga. Meski nanti ada yang terperosok, aku yakin, mereka takkan melepaskan genggaman tangannya.

Kenangan tentang ustadzah, guru dan dosen-dosenku yang menginspirasi. Ucapan mereka kusemat dengan apik di sanubari. Pemikiran mereka terkadang laksana harta karun yang membuat jiwa menjadi kaya. Melihat ustadzahku yang sabar, serasa mereguk air oase di gurun panas. Memandang guruku yang tulus, serasa selimut yang menghilangkan gigil di musin dingin. Memotret dosenku yang rendah hati, serasa kemenangan akan peradaban kemanusiaan. Oh Tuhanku, ridhoilah ilmu mereka serta berkahilah umur mereka.

Bahkan ada banyak nama yang tak kukenal yang telah menorehkan kebaikannya untukku. Seorang Mapala yang mengikhlaskan kursinya untukku sehingga ia berdiri selama satu jam dalam bus. Seorang Jawa yang menangkap barang-barang yang hampir jatuh menimpa kepalaku. Seorang Jawa -lagi-yang menambalkan ban motorku. Seorang polisi yang mengisikan minyak bensin motorku. Seorang tukang ojek yang menganti busi motorku saat mogok sampai seorang tukang parkir yang membetulkan kaca spion motorku dan tukang parkir lainnya yang menyelamatkan kunci motorku. Uniknya, mereka melakukan semua itu tanpa kuminta. Aku sama sekali tak kenal nama mereka. Yang paling kuingat,wajahnya ada yang sangar dengan tato di sekujur lengan. Tapi kebaikannya takkan pernah kulupa.

Yang baik takkan terbuang dari ingatan yang paling usang sekalipun. Semoga.

Indralaya OI, 18 Juli 2013 pk 13.10

Jumat, 19 September 2014

GRATIS

Oleh: Rika Januarita Haryati

Udara ini gratis, hiruplah sepuasmu. Lambain pepohonan, siluet senja, angin yang berlabuh dengan semilir, juga gratis. Tapi kita tetap harus tahu berterima kasih.

Doa itu gratis. Mau berdoa sebanyak dedaunan di dunia. Mau sebesar seluruh gunung yang dijadikan satu. Mau siang malam menadahkan tangan, tetap gratis. Mau meminta apapun juga, silahkan. Gratis. Tapi kita tetap harus tahu kemana doa kita panjatkan.

Air pun gratis. Mungkin ada yang harus bayar. Tapi pada dasarnya ia gratis. Ia turun dari titik-titik kecil. berkumpul sampai tenggelam bersama lautan hingga samudera. Selama apapun proses terbentuknya di langit, ia tetap gratis. Mau dipakai untuk keperluan cuci bersih sejuta ummat, gratis. Mau digunakan untuk bermain-main juga gratis. mau ditampung dalam kolam sebesar negara Indonesia pun gratis. Tapi kita tetap harus bijaksana dalam mengelola dan menggunakannya.

Sebuah kitab dengan nama kita tertera didalamnya juga gratis. Mau melakukan apapun kita nantinya. Mau jungkir balik sekalipun. Mau terserahlah hidup ini. Mau baikkah atau burukkah akhlak yang punya, kitab itu disediakan secara gratis. Tapi kita harus menyadari, dengan tangan yang mana kita akan menerima kitab tersebut.

Semua memang gratis tapi berat sekali konsekuensinya. Udara memang gratis, tapi sekalinya harus bayar, harganya mahal sekali. Air gratis, tapi jika ia tidak ada, orang rela menukarkannya dengan seluruh kekayaan yang dipunya. Doa juga sama, gratis. Tapi kadang bisa menjadi sesuatu yang disesali seumur hidup. Berapa banyak orang berkata, mengapa aku dulu berdoa begitu, begini? Lalu pada kitab yang berisi biografi hidup kita, akan baikkah atau burukkah ceritanya. Pada akhirnya nantinya akan tersenyum sumringah ataukah menangis darah saat kitab itu dibagikan secara gratis.

Semua yang gratis terlihat menyenangkan. Lihatlah pembagian sembako gratis. antriannya mengular bahkan terkadang memakan korban. tapi mereka enjoy-enjoy saja. Tidak kapok.

Semua yang gratis terlihat tidak ada konsekuensi, murah, tak berharga. Semua yang gratis terlihat tidak penting. Hanya jika ia tak ada baru orang menghargainya. Baru orang ketar-ketir dibuatnya. Baru kocar-kacir mencarinya.

Aku teringat satu cerita temanku. Tentang cerita tetangganya yang membeli kulkas baru. Kulkas yang lama ingin ia berikan kepada tetangganya yang lain. Tapi ia malu, karena rata-rata di komplek perumahan tersebut adalah orang kaya. Maka ia pajang kulkas itu di halaman rumah dengan tulisan 'gratis' yang ditempel di pintu kulkas. Sehari, dua, hingga tiga hari, kulkas itu masih bertahan tanpa bergeser seinci pun. Wah gawat, kalau semakin lama, kulkasnya akan rusak karena terkena panas dan hujan secara langsung. Akhirnya ia mengganti tulisan lalu ia tempel kembali di kertas. Ajaib. Hanya setengah hari kulkas itu telah raib. Dicuri. Emang apa tulisannya? 'Dijual, Rp. 500 ribu saja'. Ya, ternyata gratis itu juga bisa membuat curiga. Mungkin disangka barang rongsongkan. Kami yang mendengarnya pun tertawa.

Apalagi yang gratis? Selanjutnya mungkin love. we can love someone or something. It's free. Mau bagaimanapun keadaan kita, kurasa tak ada undang-undang yang melarang untuk mencintai seseorang atau sesuatu. Mau naksir siapa, gratis. Atau mau suka apa, selera bagaimana, gratis. Tak ada pajak. Tapi harus siap-siap saja menderita pikiran dan perasaan. Bahagia dan merana sekaligus. Kalau tidak siap, oh alangkah mahalnya harga perbaikan jiwa itu.

The last, mau jadi orang gila juga gratis. Kerjanya cuma makan, minum, tidur. semua gratis. Asal tidak membahayakan keselamatan orang lain, mau wara wiri kemana-mana juga gratis. Mau nyanyi, pidato, nari, atau bahkan ceramah politik juga silahkan. Bahkan mau buat partai orang gila pun boleh, gratis kok. Gak percaya? Buktikan saja sendiri. Jadilah orang gila.

The second last, hei ada juga makan dan minum gratis. Seharian, kita keliling dari rumah ke rumah. Mau makan apapun gratis. Kalau tidak gratis, justru aneh dan akan jadi pergunjingan publik. Hari raya memang hari yang istimewa. Mau dating sendiri, mau berombongan orang sekampung, well, pada hari ini, semua orang boleh makan apa saja yang disediakan karena semua gratis.

Taqobbalallahu minna wa minkum. Semoga Allah menerima (amal ibadah) aku dan kalian. Shiyamana wa shiyamakum. Puasaku dan puasa kalian. Semoga kita minal ‘aidin wal faizin. Semoga kita menjadi bagian orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Selamat Idul Fitri 1434H. Mohon maaf lahir dan bathin.

Tugumulyo OKI, 12 Agustus 2013/ 5 Syawal 1434H

Kamis, 18 September 2014

ABOUT HATE, LOVE AND MY ROOMMATES

Oleh: Rika Januarita Haryati

Pernah punya perasaan benci kepada seseorang? Tentu pernah. Awalnya mungkin hanya kecewa lalu menumpuk menjadi kemarahan lalu berubah menjadi benci dan dendam.

Mengapa ada rasa benci? Banyak penyebabnya. Dari hal yang sepele sampai yang prinsipil. Ada orang yang benci jika tidak diperhatikan ketika bicara. Ada yang benci karena melawan atau berseberangan dengan prinsip-prinsip hidupnya. Bahkan ada yang benci cuma gara-gara bukunya tidak sengaja terjatuh. Ya, tergantung seberapa besar dan lapang hati seseorang.

Ada seorang teman satu kost, ia tidak mudah marah. Hatinya lapang sekali. Ketika teman serumahnya, anggaplah itu aku, membuang sampah sembarangan ia bersihkan. Ketika piring menumpuk, ia cuci. Ketika kamar mandi mulai licin, ia sikati. Ketika air keran di bak mandi luber, ia tutup dengan kain karena kerannya memang rusak. Ini bukan terjadi sekali. Berkali-kali.
Kekerenannya berlanjut. Jika tidak ada yang beres-beres rumah, ia segera pasang badan. Ia ambil sapu. Bahkan setelah itu ia langsung mengepel. Wah senangnya punya teman se-kost seperti dia. Tapi pernah aku mendengarnya ngedumel, ya kalau nggak langsung dibersihkan, semutnya datang semua, katanya. Wah akhirnya ia mulai kesal. Asyik, pasti curahan hatinya bakal tumpah ruah segera.

Tapi eh tapi setelah selesai membersihkan bekas kecap yang tumpah, ia kembali sumringah. Malah plus senyum. Tinggal aku yang tidak enak hati. Akhirnya kuberanikan diri bertanya: kok mbak jarang marah sih? Matanya membulat. Katanya, “Lah ngapain juga marah. Soalnya aku suka pusing kalau liat rumah berantakkan. Rasanya nggak mood ngapa-ngapain. Pikiranku jadi butek,hehe.makanya daripada marah-marah ngabisin energi nggak jelas, mending energinya buat beres-beres. Lagian juga berpahala. And niatnya sebagai bentuk fastabiqul khairot. Betul nggak?”

Asli malu sekali rasanya. Kalau aku ada di posisinya, mungkin teman se-kost-ku akan kecemberuti seharian full jika ia melakukan itu. Setidaknya kusindir biar sadar diri. Eh dia malah bilang bahwa kita sudah dewasa. Sudah mengerti tanggung jawab masing-masing. Jika masih tidak mengerti, anggap aja anak-anak. Beres kan? Perempuan dewasa, begitu aku mengenalnya.

Ada lagi teman kostku yang baik sekali. Kalau beli makanan ia selalu ingat aku. Ukh, sudah makan malam belum? Aku beliin nasi goreng ya? Wah ada malaikat tak bersayap nih ceritanya. Dan setiap ia beli makanan untuk kami, dia tidak pernah perhitungan. Benar-benar tidak ia hitung. Mestinya kan habis berapa ditanggung bersama. Cara menyiasatinya, ya aku giliran membelikan makanan untuknya. Kami benar-benar seperti satu keluarga kandung. Jangan ditanya bagaimana baiknya dia. Orangnya periang dan humoris. Lalu yang paling penting, ia suka tantangan dan mengambil resiko. Ia sering berdiskusi denganku. Pokoknya, meskipun sekarang kami berjauhan, namanya kucatat dengan indah. Your name included in my best friends.

Sekarang, all of my roomates sudah pada berkeluarga. Bahkan sudah pada punya anak. Tinggal menunggu yang ‘sok dewasa’ itu. Hehe.

Terhadap sahabat karib, tentu saja ada saat dimana kita merasa kesal atau benci dengannya. Tapi rasa cinta kita tentu jauh lebih besar. Benci itu hanya emosi sesaat. Sedang cinta, insya Allah emosi jiwa untuk selamanya.

If I hate you, it’s only temporary. But if I love you, it will be forever. Insya Allah.

Tugumulyo OKI, 14 Agustus 2013/6 Syawal 1434H

Rabu, 17 September 2014

SUARA

Oleh: Rika Januarita Haryati

Oleh: Rika Januarita Haryati

Suara di pagi lembut menyapa.Suara embun bergelayutan. Suara daun jatuh malu-malu. Suara kecipak air disurau membasahi wajah. Suara ayam menawarkan persahabatan. Suara anak-anak berebutan mandi. Adapula suara meriam jatuh membentur dinding-dinding rumah.

Suara-suara berkobaran dikala siang. Suara kampanye menjual janji manis penuh siasat. Suara sapi-sapi memotong rumput yang kering. Suara sumbang biduan merayu. Suara kutukan, caci-maki penuh kebencian. Namun adapula suara khotbah khusyuk di ruang kecil di sudut bangunan mewah. Dimana suaramu? Kucari- cari suaramu nan merdu dan merindu.

Suara kelelahan di sore hari.Suara derum asap-asap membumbung ke angkasa. Suara klakson menjerit mengagetkan. Suara derap langkah pulang ke kandang. Suara serak habis berjualan. Suara malas penuh kepenatan. Suara kerinduan pada hipnotis rumah. Suara sendok dan piring beradu. Suara kecap bermacam-macam makanan. Suara sirine meraung. Aku suka suaramu.

Dari berjuta suara yang kudengar pada pagi, siang, sore dan malam, suaramulah yang paling kurindukan.Suara tegas namun berubah lembut syahdu menyentuh kalbu ketika tanganmu memangku Al Quran. Kau bicara segenap jiwa. Kau bernada dengan memberikan hak-hak yang sesuai pada semua huruf yang berjajar dan berangkai indah. Suaramu selalu mengingatkan pada suara gemuruh anak-anak kecil di Palestina. Mereka merencanakan bermain bola di tengah ancaman meriam. Mereka menyetor hafalan.Entahlah, apa hubunganmu dengan mereka. Tapi apa yang kau senandungkan di tiap kudengar selalu membuat jatuh lunglai. Suaramulah yang kurindui. Suaramulah penghilang dahaga. Suaramu selalu membuat jatuh hati.

Palembang, 25Agustus 2013 pk.15.23

Note:

Kemarin kulihat anak-anak muridku duduk melingkar. Mereka mengaji bergantian. Aku terpaku khusyuk mendengarkan. Pada hari itu aku mengajar dari jam kedua sampai jam kedelapan. Full time. Rasanya lelah dan berat luar biasa. Berjalan saja rasanya sudah hampir terhuyung. Tapi ketika mendengar suara mereka, aku tidak jadi pulang. Aku duduk terdiam. Kuresapi saja ayat-ayat yang beterbangan di udara. Benar-benar terasa sejuk dan menyejukkan jiwa. Trims ya.

anak hujan

anak hujan
ceria dibawah sentuhan manis sang hujan